Sabtu, 03 Mei 2008

Chandra Respati

Mata Chandra Respati lekat menatap perempuan itu.

“Lagi-lagi kamu kecewa denganku ‘kan? Aku tahu,” sahut perempuan.

Tak berani ia menatap balik mata Chandra yang berkabut lelah dan kecewa. Kelam, seperti langit malam itu, sebelum diwarnai percikan kembang api menjelang tengah malam.

”Kamu tahu itu. Tapi tak cuma sekali-dua kali ini terjadi”.

Selama beberapa detik hanya ada kepulan asap rokok di antara mereka berdua. Sebenarnya perempuan sangat menikmati momen hampa seperti ini. Dimana tak ada rambatan suara yang mengusik indera pendengarannya.

”Kau juga tahu alasan kenapa lagi-lagi aku mengulangi ini.”

Ya. Chandra tahu perempuan itu akan mengatasnamakan apa. Telah muak ia mendengarnya. Perempuan itu, yang pernah dijatuhkan, tepatnya dibanting atau diludahkan langit yang tak lagi menginginkan keberadaan dirinya di sana, namun esok harinya sudah bisa tertawa dan berlari-lari di pinggiran kali bersama anak-anak kecil.

Apa arti rasa sakit untukmu, perempuan?

”Biarkan saja, Chandra. Langit memang tak lagi menginginkanku sebagai bidadarinya. Tapi bisa kurasakan ia berbisik lewat angin memanggil-manggil namaku.”

Tak pernah sedikitpun perempuan menyimpan benci pada langit. Itulah yang Chandra benci. Benci pada langit yang telah melempar bidadarinya, benci pada manusia yang telah memanusiakan bidadarinya. Tak akan pernah ada lagi bidadari suci yang bisa ia puja.

”Hakmu untuk marah padaku,”

”..tapi inilah pilihan hidupku. Menjadi manusia.”

Ingin sekali Chandra menyodorkan cermin di depan wajah perempuan yang mulai dihiasi gurat usia. Usia manusia. Belum lagi bibirnya yang menghitam, residu dari tembakau yang dinikmatinya setiap hari.

”Ini yang kau sebut menjadi manusia? Lihat dirimu sekarang.”

Perempuan tersenyum. Masih enggan menatap mata Chandra yang nanar. Percuma...

”Aku mabuk, Chandra. Aku jatuh cinta.”

”...pada laki-laki tolol yang tak pernah tahu ia meniduri bidadari,” murka Chandra.

”Kau salah. Aku sama sepertimu, kita manusia pendosa. Jangan minta aku untuk jadi bidadarimu lagi. Langitpun sudah berkehendak lain.”

”Kalau begitu ’kan kuminta langit menarikmu lagi!”

”...dan membuatku jadi bidadari langit dengan sengsara yang abadi.”

Hening.

Tidak ada komentar: